PESAN KOMUNIKASI PENDIDIKAN DI MEDIA TELEVISI


Kata Kunci : Komunikasi, pendidikan, komunikasi pendidikan, verbal violence, phisical

                        violence .

ABSTRAK

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi di Indonesia diramaikan dengan bertambahnya media televisi , sehingga program program siaran yang menjadi konsumsi masyarakat Indonesia makin variatif . Keragaman tersebut menyebabkan para produsen media berlomba -lomba menciptakan program yang mampu menarik perhatian khalayak penonton. Maraknya aksi kekerasan yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia ditengarai sebagai implikasi dari penampilan acara acara / program di media Televisi yang terus menerus di pertontonkan kepada khalayak , yang dikemas dalam bentuk berita, sinetron maupun film.

Berdasarkan fenomena tersebut, maka penulis memaparkan peran komunikasi pendidikan yang begitu penting dilakukan oleh para produsen melalui pendekatan Konsep Laswell  sebagai pondasi dalam setiap aktivitas komunikasi massa dan fungsi Kode Etik Penyiaran sebagai benang merah para insan media dalam menyampaikan pesan pendidikan kepada khalayak media.

Berpijak pada Konsepsi Laswell yang mengedepankan aspek  kekuatan media massa terutama televisi sebagai salah satu media komunikasi  pendidikan ,  diharapkan semua insan media baik produsen, pelaku maupun menikmat media secara bersama-sama saling mendukung untuk menciptakan suatu program siaran yang dapat  memberikan pembelajaran secara simultan dan berkesinambungan mengenai pendidikan di segala aspek kehidupan , sehingga secara perlahan tapi pasti akan tercipta kehidupan bermasyarakat   yang aman dan nyaman .

 

 

 

 

 

ABSTRACT

The growth of Communication and information technology information in Indonesian with many more of Television medium, and so make various of broadcasting program that  consumption for Indonesian people . The various program has been  reason many produsen make  competition program who can be audience interest . The flare up physical and verbal violence in many Indonesian area ,  that implication from  Television program  as news, sinetron or film has been  showing of audience with continued .

The phenomenal of condition medium audience , then education communication role  has very important done to produsen with Laswell approach as a basic mass communication activity and Kode Etik Penyiaran function as to received education message for every audience .

            The foundation of Laswell conception who that to come of mass medium potential like Television as one of communication education medium , we hope all everyone that concern activity on mass medium , with together and mutual support  to create of program who can be education as simultance on all human life  and the future has to create of condition that safety and confortable for Indonesian people.

 

PENDAHULUAN

Ranah komunikasi saat ini makin berkembang dengan pesat merasuki semua aspek kehidupan &  aktivitas sosial . Ibarat aliran darah maka komunikasi adalah urat nadinya , menyentuh semua aspek kehidupan manusia , di rumah, kantor, tempat ibadah, pasar sehingga  dalam kehidupan sosial. Dengan kata lain ,  ranah komunikasi  telah menjadi salah satu pemicu keberhasilan individu, kelompok maupun masyarakat luas di  segala bidang ; seperti  administrasi, pendidikan, tehnik maupun industri dsb.

Dalam dunia pendidikan, komunikasi yang ditujukan  sebagai media pendidikan   salah satunya adalah  media komunikasi massa yaitu media Televisi  yang berfungsi sebagai media informasi, hiburan maupun pendidikan  ; mengapa media televisi , karena sejak   awal 2004 sampai dengan tahun 2010 ranah pertelevisian berkembang cukup pesat diantaranya  : RCTI, TRANS TV, SCTV, TPI, TRANS 7, GLOBAL TV,INDOSIAR, ANTV, TV ONE dan METRO TV .

Berikut perkembangan stasiun televisi berjaringan di Indonesia berdasarkan data dari wikipedia Indonesia :

Perkembangan media TV di atas merupakan  hal yang menggembirakan bagi masyarakat pengguna media massa , karena cakrawala informasi makin terbuka lebar dan kemudahan diperolehnya informasi yang dapat memenuhi kebutuhan khalayak luaas. Dilain pihak situasi ini juga memprihatinkan karena informasi yang diterima terus menerus tanpa dapat dibendung mengakibatkan over communicated bagi masyarakat yang terkena terpaan media.

Para pelaku media bagaikan  terbuai dengan eforia kemunculan media televisi  dan sibuk mengatur strategi program yang dapat memikat khalayak televisi  agar tidak berpaling ke stasion TV lain, sehingga kualitas acarapun kadang  tidak dihiraukan yang penting penonton senang. Ironisnya banyak perilaku-perilaku masyarakat meniru apa yang mereka lihat di media TV, tindak kejahatan, kekerasan maupun kriminal lainnya banyak ditiru karena begitu vulgar disajikan disetiap acara TV  dan semua ini dengan enaknya dikunyah oleh para penikmat TV sebagai sajian yang menghibur bahkan memberikan pengetahuan baru.

 

Jurnal Media Watch Edisi 11 Juni 2001, membahas bahwa konstribusi TV cukup besar dalam memberikan masukkan kepada audience mengenai pesan-pesan yang mengarah pada kekerasan fisik maupun verbal. Kekerasan melalui TV menyebar bukan hanya melalui penayangan adegan sadis berdarah-darah melainkan juga melalui kata-kata Dan ironisnya sajian kekerasan melalui kata-kata banyak dilakukan melalui acara komedi  dan ditayangkan  pada   waktu   Prime  Time.  (Kekerasan terbungkus tawa “ Media Watch ,11 /6/2001, hal.4). Kata-kata seperti “ setan lu, kebo, kambing, kadal ijo, pale lu bau menyan, botak, dll maupun atraksi kasar lewat tamparan di pipi, kepala, pemain jatuh karena  kursi  ditarik saat  akan duduk  dll , dengan mudah ditemukan melalui hampir semua layar Televisi di Indonesia , ironisnya kata-kata maupun perilaku tersebut mampu mengundang tawa , meskipun secara tidak disadari  menjadi sarana sosialisasi kekerasan verbal (Verbal Violence) kekerasan fisik

Pada halaman Opini   harian Pikiran Rakyat. (18/02/2011);   Dian Wardiana Sjuchro dan Dede Mulkan keduanya dosen Jurnalistik Unpad, membahas kembali mengenai kekerasan di layar TV dan dampak pemberitaan media , dimana  tayangan tersebut terbungkus dalam ranah pemberitaan, seperti kasus Cikeusik berhari-hari diberitakan oleh pelbagai media massa; belum lagi tayangan film dan sinetron ; Dampak dari penayangan tersebut , kesannya  manusia Indonesia saat ini sedang  terbelenggu dalam adegan kekerasan setiap menghadapi permasalahan.  Menurut Dian, gencarnya medium televisi menampilkan adegan-adegan sadistis (melalui film, sinetron dan pemberitaan ),  mereproduksi berbagai tindak kekerasan di tanah air secara tidak disadari telah memberikan gambaran kepada anak2 sebagai penonton setia untuk bersikap agresif dan sadis dalam kehidupan sosial. Sedangkan Dede menyikapi bahwa media massa cenderung kian “ menginspirasi “ orang dalam melakukan tindak kejahatan , sambil mengingatkan agar berhati-hati dan waspada menyikapi tayangan kekerasan yang sering ditampilkan di program pemberitaan Televisi.

Paparan di atas menunjukkan betapa besar pengaruh media massa terutama Televisi sebagai media komunikasi yang dapat mendidik penontonnya untuk berprilaku seperti /sesuai dengan apa yang mereka tonton. John Vivian (2008) memberikan contoh anak-anak Amerika menonton 30.000 – 40.000 pesan komersial setiap tahunnya , hal tersebut menggambarkan bahwa media massa telah merasuk (pervasive) ke dalam kehidupan modern . Bayangkan setiap pagi jutaan orang diseluruh penjuru dunia bangun lalu mendengarkan radio  dan menonton siaran televisi ;lebih lanjut Vivian (2008) mengajak merenungkan  pengaruh kuat media massa, sebagai berikut :

  • Melalui media massa individu dapat mengetahui hampir segala sesuatu  tentang dunia di luar lingkungan , seperti pergolakan politik di mesir, badai katrina dll .
  • Individu yang berpengetahuan (informed) dan aktif sangat mungkin terwujud di dalam demokrasi modern hanya jika media massa berjalan dengan baik.
  • Individu membutuhkan media massa untuk mengekspresikan ide-ide mereka ke khalayak luas. Tanpa media massa, gagasan individu tidak hanya akan sampai ke orang-orang terdekat .
  • Negara-negara kuat menggunakan media massa untuk menyebarkan ideologinya dan tujuan komersial. Media massa adalah alat utama para propagandis, pengiklan dll.

Dengan kata lain, di era keterbukaan  ini semua insan dunia membutuhkan media komunikasi sebagai salah satu sarana informasi yang sifatnya cepat dan beretika , sehingga peran media massa sebagai media informasi galibnya dapat juga sebagai sarana komunikasi yang mampu memberikan pendidikan kepada seluruh umat penonton maupun pendengarnya, melalui kemasan program/ acara yang sesuai dengan asas kesopanan, beretika dan mempererat kerukunan antar umat.

 

MEDIA TELEVISI  SEBAGAI   SARANA KOMUNIKASI PENDIDIKAN

Komunikasi adalah kemampuan mengirimkan pesan dengan jelas, manusiawi , efisien dan menerima pesan secara akurat D.B.Curtis (1992), sedangkan J.A.Devito (1997) menjelaskan bahwa komunikasi merupakan suatu tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirimkan dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan yang terjadi dalam satu konteks tertentu .  Sedangkan pendidikan secara luas adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup; suatu proses sosialisasi yang membantu generasi muda agar menjadi anggota masyarakat yang diharapkan (Sosiologi); enkulturasi atau pembudayaan ; suatu proses dengan jalan mana seseorang menyesuaikan diri kepada suatu kultur masyarakat dan mengasimilasikan nilai-nilainya (Antropologi); proses adaptasi /penyesuaian diri yang terbaik dari seseorang manusia yang sadar terhadap lingkunagnnya (Biologi); pendidikan identik dengan personalisasi, yaitu upaya membantu perubahan tingkah laku individu untuk mencapai perkembangan optimal menjadi diri sendiri (Psikologi) . (Wikipedia ).  Kesimpulannya pendidikan adalah suatu proses atau kegiatan yang di arahkan untuk mengubah kebiasaan (behavior) manusia (Frederick J.Mc.Donald & M.J.Langeveld).

Dengan demikian , pengertian  Komunikasi pendidikan adalah proses penyampaian pesan pendidikan secara langsung maupun tak langsung yang diarahkan untuk mengubah kebiasaan, cara berpikir dan menambah wawasan bagi yang terlibat dalam proses komunikasi tersebut.  Sejalan dengan maraknya program maupun pemberitaan di media televisi yang mengeksploitasi kata-kata kasar maupun prilaku ke arah kekerasan , maka secara tidak langsung konsep komunikasi pendidikan yang diemban oleh media televisi secara tidak langsung  memberikan kontribusi yang cukup besar dalam mempengaruhi perilaku individu untuk berkata dan bertindak sesuai dengan apa yang khalayak penonton  lihat di media televisi.

 

Jean Baudrillard  mengatakan, dunia televisi adalah dunia yang sarat pencitraan, yakni realitas sosial senantiasa dimainkan dalam sebuah ruang pencitraan. Karena itu, televisi seringkali menggambarkan realitas sosial melebihi realitas yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena kuatnya kemampuan televisi dalam melakukan pencitraan, sehingga apa pun yang dicitrakan oleh televisi sering menciptakan sebuah dunia hiper atau hiperealitas. (Hedi Ps, Suara Merdeka , 09/12/2003).

 

Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa, apapun yang ditampilkan oleh media Televisi,  merupakan pengejawantahan dari perilaku perilaku yang terlibat dalam tampilan tersebut. Sebagai contoh : tawuran antar suporter bola , anggota DPR di lempar asbak, perilaku aparat dalam menangani pengunjuk rasa , mencerminkan perilaku kekerasan dan  bila terus menerus ditayangkan maka khalayak akan  mendapatkan pendidikan bahwa  kekerasan sebagai suatu hal yang biasa dalam mengatasi masalah .  Contoh tersebut hanyalah sebagian kecil yang dilakukan oleh banyak media televisi dalam menampilkan perisitiwa kekerasan , bayangkan  kalau dalam setiap tayangan hiburanpun dikemas dengan atraksi kata2 kasar yang dipergunakan untuk memancing tawa penonton (Verbal Violence) , maka lengkap sudah insan penonton mendapatkan pendidikan kekerasan melalui media televisi ; baik secara fisik (physical violence ) maupun  kata2 (verbal violence) .

 

Konon kata-kata kasar pengaruhnya lebih besar menerpa konsumen media massa dibandingkan melalui atraksi fisik ;  dimana kata-kata kasar  menurut kepustakaan komunikasi,  diartikan sebagai bentuk kekerasan yang halus yang menggunakan kata-kata kasar, jorok dan menghina. Kekerasan yang satu ini memperoleh perhatian khusus dalam studi-studi komunikasi karena pengaruhnya atas kadar sensitifitas masyarakat terhadap perilaku kekerasan. Di satu sisi, masyarakat seringkali luput memperhatikan kekerasan verbal & fisik melalui komedi karena dianggap sebagai sesuatu yang tidak sungguh-sungguh. Namun di sisi lain, karena tidak dianggap serius , kekerasan verbal & fisik  terus dipompa , sehingga berpotensi menghasilkan sikap yang tidak sensitive terhadap bentuk bentuk penghinaan, pelecehan maupun perendahan martabat manusia bagi kalangan,  terutama anak-anak maupun remaja. Program-program komedi memang menjadi andalan setiap stasiun TV, padahal sosialisasi kekerasan yang berlangsung terus menerus semacam itu dapat mempengaruhi mempercepat proses menumpulan hati nurani dan perasaan kaum remaja dan anak-anak Indonesia.

 

Imam B Prasodjo, sosiologi UI, melihat fenomena kekerasan massa yang melanda Indonesia sekarang ini, harus dipahami memiliki kaitan erat dengan proses sosialisasi tindakan kekerasan yang sebenarnya telah lama tumbuh dalam ruang keluarga. (Media Indonesia, 29/5/2000). Apa jadinya bila rumah tangga yang sesungguhnya Private sphere, tempat dimana pertama kalinya manusia belajar berhubungan dengan manusia , justru diisi oleh guru elektronik yang mengajarkan remaja dan anak-anak untuk berbicara maupun bertingkah laku kasar dan penuh penghinaan.

Beberapa media massa memuat bahwa salah satu pemicu konflik dimasyarakat adalah adanya perbedaan antropologis maupun sosiologis, para pakar melihat pada relung yang lebih luas dan besar. Tapi pernahkah mereka melihat bahwa konflik terbesar justru bermula dalam kehidupan keluarga sebagai anggota masyarakat yang kecil; Yang secara simultan turun temurun para orang tua mengajarkan etika dan budaya yang baik, sementara media elektronik menisbikan etika dan budya yang baik sebagai suatu hal yang biasa, dari situlah bermula konflik sudah teradoptir  dan berkembang menjadi konflik-konflik social .

Mary S.Mander menguraikan bahwa Social conflict  dapat terjadi  melalui :

First, social conflict plays an important part in our everyday (commonsense) world in that it dominates media content and media forms. In the commonsense world – as compared to the social scientific one – we negotiate the conflict we meet daily in our homes and workplaces. We also learn about social conflict on a larger scale through the media. Periods of heightened social conflict and crisis profoundly transmute individual and collective realities.

Second, social conflict has been relatively neglected among communications scholars. In the world of scholarship – as compared to the world of common sense – thousands of studies have been done of media and their effects in social life .(Framing Friction, media and social conflit: 1999,2-3).

Melihat betapa media berperan besar dalam memberikan pengaruh terhadap perilaku sosial masyarakat, maka di negara-negara yang telah maju seperti Amerika Serikat , Federal Communication Commision (FCC) dengan tegas melarang penggunaan tujuh kata kasar dan jorok (the seven dirty words), untuk disiarkan di TV dan Radio. Bayangkan bila Undang-undang penyiaran kita telah melakukan hal tersebut betapa banyaknya kata-kata kasar maupun jorok yang dilarang. Memang contoh-contoh kata kasar yang hadir di TV Indonesia belum se ekstrim “ the seven dirty words “, namun apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat menunjukkan bagaimana persoalan “ kata-kata “ diperlakukan secara serius. Di Kanada, hal serupa juga dilarang , bahkan tertuang dalam Violence Code 1987. Salah satu pasal dalam peraturan itu melarang penayangan segala bentuk kekerasan ,baik fisik maupun verbal sebelum jam 9 malam, tujuannya adalah untuk melindungi anak-anak yang berusia di bawah 12 tahun.

Indonesia yang terdiri dari beragam suku, budaya maupun bahasa,  gesekan-gesekan secara verbal maupun fisik yang bersifat tendensius   sangatlah mungkin terjadi  . Menurut Deddy Mulyana , karena friksi antar budaya merupakan fenomena keseharian kita, jadi dapat muncul dalam berbagai berita, feature, pengalaman pribadi maupun anekdot. (Dari makalah “ Komunikasi antar budaya di Indonesia : pengalaman dan tantangan”, seminar ISKI 7/2/2002 ). Masyarakat kita yang pluralistis sangat memungkinkan terjadinya konflik antar mereka hanya karena perbedaan bahasa maupun perilaku. Dalam makalah yang sama  Deddy Mulyana memberikan contoh verbal yang dapat menimbulkan konflik karena  perbedaan pamahaman : kata cicing dalam bahasa sunda artinya diam berbeda artinya dalam bahasa Bali yaitu anjing. Dapat dibayangkan andaikan kata tersebut dijadikan dialog antar orang sunda dan orang Bali. Ironisnya , Verbal Violence  dan kekerasan fisik yang ditampilkan di media TV justru dengan enaknya dilahap oleh penonton sebagai sajian yang menghibur, dan mereka tidak merasa harus tersinggung menikmatinya.

Saat ini yang seharusnya menjadi pertanyaan para ahli komunikasi, Verbal Violence  dan adegan kekerasan fisik yang banyak terjadi  dimasyarakatkan , sebagai indikator mulainya terjadinya konflik ataukah sebagai sarana sosialisasi pemicu konflik, hal ini yang seharusnya menjadi bahan penelitian para ahli komunikasi.

 

 

 

 

TEORI  LASSWELL YANG TERLUPAKAN

 

Menganalisis  bagaimana maraknya konflik antar etnis terutama memasuki pasca Orde Baru yang sampai kini tidak/ belum dapat diselesaikan pokok persoalannya dapat kita tinjau  dari perspektif  teori komunikasi massa, salah satunya  konsep Lasswell yang mulai dilupakan oleh para pelaku media dalam menyampaikan informasi . Sebagai contoh di harian kompas (4/5/2001), disampaikan hasil liputan Seminar Pers dan konflik sosial, dibahas bahwa pemilihan kata dalam pemberitaan tentang konflik sosial di media massa cenderung membentuk stigma antar-etnik dan menghilangkan nurani kebudayaan (cultural conscientia) dari etnik yang terlibat konflik;  Dan conscientia conflict  tersebut tidak mampu membedakan mana yang manusiawi dan mana yang tidak.

Bahkan pada forum yang sama Alwy Rachman  (direktur lembaga penerbitan UNHAS) menambahkan bahwa pemilihan kata yang kurang tepat pada media massa mengakibatkan kekejaman sebagai manifestasi konflik, yang secara tidak disadari berpindah dari ruang sosiokultural ke ruang media. Kondisi tersebut secara tidak langsung menciptakan suatu perpindahan keadaan dimana konflik dan kekerasan mengalami transformasi ruang. Dan pada saat yang sama , pelaku konflik belum tentu memiliki akses yang memadai ke ruang media, para politisi  mengambil alih pengembangan isu konflik tersebut  dan mengelola akses ke media maupun sebaliknya dan media secara tidak sengaja memanfaatkan kesempatan tersebut dengan mefokuskannya pada politisi bukan kepada how to make analysis of the problem and  how to make a solution.

Industri media massa saat ini mengalami ledakan yang cukup tinggi, dan secara tidak sengaja kebebasan yang dianut para pelaku media , dapat menjebak dan menjerumuskan sebagian pelaku media kedalam pemuatan informasi yang bombatis dan sensasional ; sehingga penggunaan verbal violence pun  sudah umum dikenal para pemakai media.  Dengan kondisi demikian , apakah konsep Lasswell masih patut dipakai ataukah masih dikenal oleh para pelaku media.

Stanley J.Baran (2009) menjelaskan  bahwa  konsep  Lasswell berisikan  tentang perpaduan  ide – ide  dari aliran behaviourisme ( konsep yang menyatakan bahwa semua tindakan manusia merupakan respons  yang terkondisi terhadap stimulasi lingkungan eksternal) dan freudianisme ( konsep Freud yang menyatakan bahwa perilaku manusia adalah produk konflik antara id, ego dan superego seseorang)  menjadi sebuah visi media yang sangat pesimis dan berperan membentuk tatanan sosial modern . Melalui perpaduan tersebut lahirlah konsep Who Says What To Whom With what Effect , yang mana mengandung makna bila individu akan melakukan komunikasi pertama-tama dan  penting sekali  memahami dengan sungguh2 aspek pengetahuan terhadap topik pembicaraan dan sasaran pembicaraan juga  memperhitungkan akibat yang akan terjadi bila pesan komunikasi telah disampaikan.

Dari paparan diatas, kita diingatkan kembali oleh  Harold Lasswell mengenai    pesan media massa sebaiknya  berfungsi sebagai :

  1. The surveillance of the environment
  2. The correlation of the parts society in responding to environment
  3. The transmission of the social heritage from one generation to the next.

 

Yang dimaksud dengan surveillance adalah kegiatan mengumpulkan dan menyebarkan informasi mengenai peristiwa-peristiwa dalam suatu lingkungan, misalnya penggarapan pemberitaan . Kegiatan yang disebut correlation adalah interpretasi terhadap informasi mengenai peristiwa yang terjadi dilingkungan , misalnya program opini . Kegiatan transmission of culture difokuskan kepada kegiatan mengkomunikasikan informasi, nilai2 dan norma sosial dari generasi satu ke generasi yang lain atau dari suatu kelompok kepada pendatang baru , misalnya : program pendidikan .   (Onong U.Effendy, 1993).

 

Melalui konsep  Lasswell para pelaku media massa terutama Televisi diingatkan  ,  bahwa penggarapan pesan melalui media massa, harus merupakan informasi yang mengandung nilai-nilai, maupun norma sosial yang merupakan warisan budaya yang diturunkan secara simultan dari generasi kegenerasi , dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain.  Jadi esensi dari konsep Lasswell adalah media massa seharusnya dapat dijadikan  sarana pembelajaran dan pendidikan  terhadap nilai-nilai hidup dalam bersosialisasi dengan lingkungannya. Dalam hal ini Lasswell sebenarnya jauh-jauh hari telah mengingatkan  para pelaku media akibat yang ditimbulkan oleh media massa bagi prilaku individu yang terkena terpaan media .

 

 

 

 

 

MASIH PEDULIKAH  KITA ?

 

Menyitir konsep Lasswell mengenai Who  Says What To Whom With what Effect , sebenarnya bukan hanya untuk konsumsi pemberitaan  saja, tapi memang penting untuk semua konsumsi program siaran yang merujuk  pada  UU RI No.31 Pasal 36 Tahun 2010 mengenai Penyiaran, dimana :

(1) Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.

(2) Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang-kurangnya 60% (enam puluh per seratus) mata acara yang berasal dari dalam negeri.

(3) Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.

(4) Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.

(5) Isi siaran dilarang :

  1. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
  2. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan obat terlarang; atau
  3. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.

(6) Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan

nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.

 

Menyitir Kode Etik penyiaran di atas terutama butir.5 & 6, jelas diatur  bahwa seharusnya pemakaian unsur kekerasan baik perilaku maupun  kata-kata  kasar  tidak diperkenankan dilakukan dan dipertontonkan disetiap program   siaran ,  meskipun  para pelaku media sendiri menganggap bahwa kekerasan verbal maupun phisik kadang  tidak masalah dikonsumsi penonton maupun pembaca dari segala golongan umur , dan para artisnya sendiri oke-oke saja melontarkan kata-kata kasar maupun menghina, apalagi kata-kata kasar tersebut dijustifikasi sesuai dengan konteks budaya. Mengingat masih banyak khalayak media yang menafsirkan kata kasar maupun tidakan fisik secara kasar,  seperti dalam sebuah acara disalah satu TV Swasta yang seringkali mengekspose tindakan fisik dengan cara mnndorong pemain sampai jatuh , terbentur benda dsb (meskipun dalam titling tertulis adegan tersebut mengunakan bahan tidak berbahaya) sebagai tayangan yang dapat memikat tawa khalayak penonton , secara tidak disadari adegan tersebut justru memberikan pendidikan bahwa kekerasan dan  kata-kata kasar adalah sesuatu yang lucu.

 

Jadi kalau kita berbicara tentang makin berkembang konflik antar etnis di negara Indonesia dan  makin seringnya pemecahan masalah antar individu, warga /kelompok dst dilakukan dengan cara kekerasan ;   sebetulnya akarnya sudah terjalin mulai dari lingkungan keluarga itu sendiri yang secara tidak sadar tersosialisasi melalui tayangan maupun informasi yang diperoleh dari media massa terutama TV.  Hak pembaca, pendengar maupun penonton untuk memperoleh tayangan, siaran maupun bahan bacaan yang mengajarkan kesantunan, yang menumbuhkan harmoni , yang menanamkan kasih sayang lebih banyak terabaikan – oleh alasan mengejar kuantitas daripada kualitas isi pesan.   Siapa yang akan peduli dengan semua ini – kalau bukan  para intelektual komunikasi untuk bersama-sama merancang konsep komunikasi pendidikan  yang dapat membantu para pelaku media massa menciptakan tayangan, siaran maupun bacaan yang dapat mencerdaskan maupun meninggikan martabat manusia , sehingga perbedaan pendapat bukan dianggap sebagai perseteruan tapi lebih merupakan wacana mencapai kebersamaan.

 

Abdul Malik Fajar (mendiknas tahun 2001) mengakui bahwa sistem pendidikan di Indonesia adalah yang terburuk di kawasan Asia dan diingatkan pula bahwa pendidikan sangat dipengaruhi oleh sosial politik , termasuk persoalan stabilitas dan keamanan, sebab pelaksanaan pendidikan membutuhkan rasa aman . jadi sepatutnya menjadi bahan renungan bagi para  insan komunikasi terutama yang berkiprah di media massa, bahwa menciptakan rasa aman dan nyaman bukan hanya terbatas secara fisik maupun lingkungan sosialnya tapi secara luas terintegrasi dalam segala aspek, diantaranya pola komunikasi yang tercipta baik secara langsung maupun tidak langsung terutama melalui media massa.

 

Menurut Heris Hendriana (PuKet I.STKIP Siliwangi – Bandung) , media massa dapat memainkan peran besar dalam penyampaian informasi tentang materi pendidikan . Terutama pendidikan informal misalnya melalui berita; media massa dapat berperan serta meningkatkan mutu pendidikan dan lembaga pendidikan yang bermutu dapat pula ikut serta menghasilkan media massa yang bermutu dan menguntungkan. Lebih lanjut,  Heris menegaskan , media massa merupakan pilar kelima pendidikan setelah keluarga, sekolah, masyarakat dan rumah ibadah . Media massa dapat mentransformasikan nilai-nilai pendidikan melalui informasi yang disebarkan. (Hu.Pikiran Rakyat, 25/02/11)

Pernyataan tersebut, makin memperkuat betapa besar pengaruh media massa sebagai media komunikasi yang mampu menciptakan ranah pendidikan dalam segala aspek , baik secara perorangan, kelompok dan masyarakat luas secara simultan. Karakteristik media massa memungkinkan semua aspek di atas dapat terpenuhi .

 

Elizabeth Noelle-Neumann memberikan konsep tentang “Powerfull Mass Media “, bahwa media akan memiliki efek yang kuat apabila tiga karakteristik media massa dikombinasikan, sebagai berikut :

  • Cumulation, yaitu penimbunan pesan yang dibawa media massa
  • Ubiquity, sifat media yang ada dimana-mana dan
  • Consonance, yaitu gambaran yang utuh mengenai kejadian tertentu atau isu tertentu yang ditampilkan secara bersamaan di pelbagai media massa (tv, radio, surat kabar, majalah dsb). (Dominick.A.Infante,1990 & Werner J.Severin ,1992).

 

Berpijak pada kekuatan karakteristik media massa seperti penuturan Elizabeth , galibnya para pengelola media massa terutama media TV dapat mengaplikasikannya melalui program siaran yang sifatnya lebih ke arah pendidikan .  Sulitkah bila konsep tersebut diaplikasikan dalam setiap program siaran televisi ? Untuk mengetahui sejauhmana program yang bernuansa pendidikan dapat terlaksana ataukah tidak , marilah kita simak kembali  pengertian Komunikasi Pendidikan ,  yaitu  proses penyampaian pesan pendidikan secara langsung maupun tak langsung yang diarahkan untuk mengubah kebiasaan, cara berpikir dan menambah wawasan bagi yang terlibat dalam proses komunikasi tersebut.  Dengan demikian ,  maka hal pertama yang dilakukan adalah menentukan secara tepat konsepsi program siaran yang bernuansa pendidikan .

Secara umum bila berbicara kemasan program pendidikan maka orientasinya orang  akan terfokus pada suatu kegiatan proses belajar mengajar seperti terjadi di ruang kelas maupun ruang kuliah , sehingga kesannnya bukanlah program yang menarik . Sebuah stasiun TV swasta pernah menampilkan hampir keseluruhan acaranya bernuansa pendidikan , akan tetapi program tersebut tidaklah menarik terkesan monoton sehingga  perolehan ratingnyapun sangat rendah ; maka tidak berapa lama kemudian program tersebut dihapuskan .  Pandangan awam bahwa kegiatan komunikasi yang berorientasi pendidikan melalui media televisi terkesan formal dan monoton  kiranya perlu diubah , bahwa program siaran yang berorientasi pendidikan tidaklah harus bentuk programnya , karena aspek komunikais pendidikan bisa diperoleh dengan beragam cara, yaitu

  1. Komunikator (pembicara, nara sumber, pemain dsb) selalu mengutamakan menggunakan kata-kata maupun prilaku yang baik menurut pandangan umum dan patut ditiru
  2. Pesan (bentuk acara, isi siaran dsb) dapat mempengaruhi penonton agar berpikir kritis , logik dan menambah wawasan.
  3. Media ( tata panggung, busana, perilaku dsb) mampu menumbuhkan pengetahuan dan pengertian penonton bagaimana sesungguhnya berprilaku yang sesuai dengan norma-norma bangsa Indonesia.

 

Berdasarkan beberapa pandangan tersebut , maka apabila secara konsisten dilakukan oleh setiap pelaku komunikasi maupun media massa, terutama media Televisi diharapkan secara perlahan tapi pasti akan menciptakan insan Indonesia yang santun, ramah dalam kehidupan sosial yang nyaman dan aman .

 

Akhir kata, pepatah mengatakan cara orang berbicara, berprilaku maupun berpikir menunjukkan intelektualitas dirinya. Dengan demikian , kegiatan yang berorientasi pendidikan tidak cukup dilakukan di dalam koloni keluarga, kelompok sosial maupun masyarakat saja , peran yang begitu besar dari media massa terutama televisi dalam memberikan pengaruh terhadap khalayak penonton , patut didukung bersama-sama agar tercipta  program-program yang berorientasi pada pendidikan dalam kemasan hiburan , seperti acara Kick Andy, Si Bolang, Sahabat JP dsb,  patut mendapatkan dukungan agar secara perlahan tapi pasti di masa mendatang  semua program di media Televisi akan ikut menciptakan program siaran yang sifatnya pendidikan .

 

REFERENSI

Baran,  Stanley J, 2010, Teori Komunikasi Massa, Terjemahan , Salemba Humanika – Jakarta.

Infante, Dominick A. 1990, Building Communication Theory, USA:Waveland Press inc

Tim dos, en Adm Pendidikan UPI,  2009, Manajemen Pendidikan ,  Alfabeta – bandung.

Uchjana Effendy,  1993,Onong, Ilmu, Teori & Filsafat Komunikasi, Pt.Citra Aditya Bakti – Bandung .

Vivian , John, 2008, Teori Komunikasi Massa, terjemahan , Kencana Perdana Media Group – Jakarta.

Wenner J,  Severin & James W.Tankard Jr, 1992, Communications Theories : Origin, methods and uses in the mass media, Longman – New York.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *