VERBAL VIOLENCE DI MEDIA TELEVISI (media Massa) (Analisis penerapan konsep Lasswell di media Televisi )


PENDAHULUAN

 

Awal 2002 ini ditandai dengan munculnya empat stasiun TV yaitu Metro TV, Trans TV, Lativi dan Global TV; Meskipun jangkauan siarnya masih sekitar Jabotabek dan beberapa daerah di Jawa Barat , suatu hal yang menggembirakan bagi masyarakat pengguna media, karena cakrawala informasipun makin terbuka lebar dan kemudahan diperolehnya informasi yang dapat memenuhi kebutuhan mereka. Dilain pihak situasi ini juga memprihatinkan karena informasi yang diterima terus menerus tanpa dapat dibendung mengakibatkan over communicated bagi masyarakat yang terkena terpaan media.

 

Para pelaku media begitu terbuai dengan eforia kemunculannya dan sibuk mengatur strategi program yang dapat memikat audiencenya agar tidak berpaling ke stasion TV lain, sehingga kualitas acarapun tidak dihiraukan yang penting penonton senang. Ironisnya banyak perilaku-perilaku masyarakat meniru apa yang mereka lihat di media TV, tindak kejahatan, kekerasan maupun kriminal lainnya banyak ditiru karena begitu vulgar disajikan disetiap acara TV  dan semua ini dengan enaknya dikunyah oleh para penikmat TV sebagai sajian yang menghibur bahkan memberikan pengetahuan baru.

 

Jurnal Media Watch Edisi 11 Juni 2001, membahas bahwa konstribusi TV cukup besar dalam memberikan masukkan kepada audience mengenai pesan-pesan yang mengarah pada kekerasan fisik maupun verbal. Kekerasan melalui TV m,enyebar bukan hanya melalui penayangan adegan sadis berdarah-darah melainkan juga melalui kata-kata Dan ironisnya sajian kekerasan melalui kata-kata banyak dilakukan melalui acara komedi  dan ditayangkan  pada   waktu   Prime  Time.  Contohnya :  di RCTI  pada  acara Ketoprak Humor, Jin dan Jun; di SCTV pada acara spontan, Ludruk Glamour dll; di TPI ditayangkan Komedi 30 meter, Lenong abang none dll; di ANTEVE pada komedi metropolitan dan tabita dan sicupid; di Indosiar dengan srimulat dan warkop millenium dll. Dan hampir semua program diatas termuat adegan maupun dialog yang menghadirkan bentakan, maupun kata-kata penghinaan. (Kekerasan terbungkus tawa “ Media Watch ,11 /6/2001, hal.4).

Kata-kata seperti “ setan lu, kebo, kambing, kadal ijo, pale lu bau menyan, dll dengan mudah ditemukan melalui hampir semua layar Televisi di Indonesia , ironisnya kata-kata tersebut mampu mengundang tawa tapi dibalik itu ia menjadi sasarana sosialisasi kekerasan verbal (Verbal Violence).

 

BEGITU BESARKAH PENGARUH VERBAL VIOLENCE DALAM MEMICU KONFLIK SOSIAL ATAU SOSIALISASI DARI KONFLIK KOMUNIKASI ?

 

PERMASALAHAN

Kekerasan verbal dalam kepustakaan komunikasi diartikan sebagai bentuk kekerasan yang halus yang menggunakan kata-kata kasar, jorok dan menghina. Kekerasan yang satu ini memperoleh perhatian khusus dalam studi-studi komunikasi karena pengaruhnya atas kadar sensitifitas masyarakat terhadap perilaku kekerasan. Di satu sisi, masyarakat seringkali luput memperhatikan kekerasan verbal melalui komedi karena dianggap sebagai sesuatu yang tidak sungguh-sungguh. Namun di sisi lain, karena tidak dianggap serius , kekerasan verbal terus dipompa , sehingga berpotensi menghasilkan sikap yang tidak sensitive terhadap bentuk bentuk penghinaan, pelecehan maupun perendahan martabat manusia bagi kalangan terutama anak-anak maupun remaja.

Program-program komedi memang menjadi andalan setiap stasiun TV, padahal sosialisasi kekerasan yang berlangsung terus menerus semacam itu dapat mempengaruhi mempercepat proses menumpulan hati nurani dan perasaan kaum remaja dan anak-anak Indonesia.

 

Imam B Prasodjo, sosiologi UI, melihat fenomena kekerasan massa yang melanda Indonesia sekarang ini, harus dipahami memiliki kaitan erat dengan proses sosialisasi tindakan kekerasan yang sebenarnya telah lama tumbuh dalam ruang keluarga. (media Indonesia, 29/5/2000).

 

Apa jadinya bila rumah tangga yang sesungguhnya Private sphere, tempat dimana pertama kalinya manusia belajar berhubungan dengan manusia , justru diisi oleh guru elektronik yang mengajarkan remaja dan anak-anak untuk berbicara maupun bertingkah laku kasar dan penuh penghinaan.

 

Beberapa media massa memuat bahwa salah satu pemicu konflik dimasyarakat adalah adanya perbedaan antropologis maupun sosiologis, para pakar melihat pada relung yang lebih luas dan besar. Tapi pernahkah mereka melihat bahwa konflik terbesar justru bermula dalam kehidupan keluarga sebagai anggota masyarakat yang kecil; Yang secara simultan turun temurun para orang tua mengajarkan etika dan budaya yang baik, sementara media elektronik menisbikan etika dan budya yang baik sebagai suatu hal yang biasa, dari situlah bermula konflik sudah teradoptir  dan berkembang menjadi konflik-konflik social .

 

Mary S.Mander menguraikan bahwa Social conflict  dapat terjadi  melalui :

First, social conflict plays an important part in our everyday (commonsense) world in that it dominates media content and media forms. In the commonsense world – as compared to the social scientific one – we negotiate the conflict we meet daily in our homes and workplaces. We also learn about social conflict on a larger scale through the media. Periods of heightened social conflict and crisis profoundly transmute individual and collective realities.

Second, social conflict has been relatively neglected among communications scholars. In the world of scholarship – as compared to the world of common sense – thousands of studies have been done of media and their effects in social life .

(Framing Friction, media and social conflit: 1999,2-3).

 

Melihat betapa media berperan besar dalam memberikan pengaruh terhadap perilaku sosial masyarakat, maka di negara-negara yang telah maju seperti Amerika Serikat , Federal Communication Commision (FCC) dengan tegas melarang penggunaan tujuh kata kasar dan jorok (the seven dirty words), untuk disiarkan di TV dan Radio. Bayangkan bila Undang-undang penyiaran kita telah melakukan hal tersebut betapa banyaknya kata-kata kasar maupun jorok yang dilarang. Memang contoh-contoh kata kasar yang hadir di TV Indonesia belum se ekstrim “ the seven dirty words “, namun apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat menunjukkan bagaimana persoalan “ kata-kata “ diperlakukan secara serius.

 

Di Kanada, hal serupa juga dilarang , bahkan tertuang dalam Violence Code 1987. Salah satu pasal dalam peraturan itu melarang penayangan segala bentuk kekerasan ,baik fisik maupun verbal sebelum jam 9 malam, tujuannya adalah untuk melindungi anak-anak yang berusia di bawah 12 tahun.

Sayangnya, undang-undang penyiaran di Indonesia, lebih ditekankan pada pelarangan fisik. Sedangkan sensor terhadap Verbal Violence tidak ada , bahkan para pengelola TV pun berpendapat bahwa masih belum perlu Verbal Violece di larang bahkan dianggap sebagai bumbu penyedap, ironisnya lagi karena alasan ciri khas budaya.

Menurut Dr.Deddy Mulyana , karena friksi antar budaya merupakan fenomena keseharian kita, jadi dapat muncul dalam berbagai berita, feature, pengalaman pribadi maupun anekdot. (Dari makalah “ Komunikasi antar budaya di Indonesia : pengalaman dan tantangan”, seminar ISKI 7/2/2002 ).

 

Masyarakat kita yang pluralistis sangat memungkinkan terjadinya konflik antar mereka hanya karena perbedaan bahasa maupun perilaku. Dalam makalah yang sama Dr.Deddy Mulyana memberikan contoh verbal yang dapat menimbulkan konflik karena  perbedaan pamahaman : kata cicing dalam bahasa sunda artinya diam berbeda artinya dalam bahasa Bali yaitu anjing. Dapat dibayangkan andaikan kata tersebut dijadikan dialog antar orang sunda dan orang Bali. Ironisnya , Verbal Violence yang ditampilkan di media TV justru dengan enaknya dilahap oleh penonton sebagai sajian yang menghibur, dan mereka tidak merasa harus tersinggung menikmatinya.

Saat ini yang seharusnya menjadi pertanyaan para ahli komunikasi, Verbal Violence yang banyak dimasyarakatkan oleh media massa, sebagai indikator mulainya terjadinya konflik ataukah sebagai sarana sosialisasi pemicu konflik, hal ini yang seharusnya menjadi bahan penelitian para ahli komunikasi.

 

 

TEORI LASSWELL YANG TERLUPAKAN

Menganalisis  bagaimana maraknya konflik antar etnis terutama memasuki pasca Orde Baru yang sampai kini tidak/ belum dapat diselesaikan pokok persoalannya dapat kita tinjau  dari perspektif teori Lasswell yang mulai dilupakan oleh para pelaku media dalam menyampaikan informasi . Sebagai contoh di harian kompas (4/5/2001), disampaikan hasil liputan Seminar Pers dan konflik sosial, dibahas bahwa pemilihan kata dalam pemberitaan tentang konflik sosial di media massa cenderung membentuk stigma antar-etnik dan menghilangkan nurani kebudayaan (cultural conscientia) dari etnik yang terlibat konflik. Dan conscientia conflict  tersebut tidak mampu membedakan mana yang manusiawi dan mana yang

tidak.

Bahkan pada forum yang sama Alwy Rachman  (direktur lembaga penerbitan UNHAS) menambahkan bahwa pemilihan kata yang kurang tepat pada media massa mengakibatkan kekejaman sebagai manifestasi konflik, yang secara tidak disadari berpindah dari ruang sosiokultural ke ruang media.

Kondisi tersebut secara tidak langsung menciptakan suatu perpindahan keadaan dimana konflik dan kekerasan mengalami transformasi ruang. Dan pada saat yang sama , pelaku konflik belum tentu memiliki akses yang memadai ke ruang media, para politisi  mengambil alih pengembangan isu konflik tersebut  dan mengelola akses ke media maupun sebaliknya dan media secara tidak sengaja memanfaatkan kesempatan tersebut dengan mefokuskannya pada politisi bukan kepada how to make analysis of the problem and  how to make a solution.

 

Industri media massa saat ini mengalami ledakan yang cukup tinggi, dan secara tidak sengaja kebebasan yang dianut para pelaku media , menjebak dan menjerumuskan sebagian pelaku media kedalam pemuatan informasi yang bombatis dan sensasional ; sehingga penggunaan verbal violence pun  sudah umum dikenal para pemakai media.  Dengan kondisi demikian , apakah konsep Lasswell masih patut dipakai ataukah masih dikenal oleh para pelaku media.

 

 

 

 

 

 

Dari paparan diatas, kita diingatkan kembali kepada fungsi media massa dari Harold Lasswell , bahwa pesan media massa seyogyanya berfungsi sebagai :

  1. The surveillance of the environment
  2. The correlation of the parts society in responding to environment
  3. The transmission of the social heritage from one generation to the next. (Prof.Drs.Onong U.Effendy, MA “ Ilmu , teori dan filsafat komunikasi, 1993,253).

 

Dengan kata lain, Lasswell mengingatkan kita , bahwa penggarapan pesan melalui media massa, harus merupakan informasi yang mengandung nilai-nilai, maupun norma sosial yang merupakan warisan budaya yang diturunkan secara simultan dari generasi kegenerasi , dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain.

Jadi esensi dari konsep Lasswell adalah media massa seharusnya dapat dijadikan  sarana pembelajaran terhadap nilai-nilai hidup dalam bersosialisasi dengan lingkungannya. Dalam hal ini Lasswell sebenarnya jauh-jauh hari telah mengingatkan kita para pelaku media akibat yang ditimbulkan oleh media massa bagi prilaku individu yang terkena terpaan media .

 

 

MASIH PEDULIKAH  KITA ?

Menyitir konsep Lasswell mengenai isi 5 W + 1 H, sebenarnya bukan hanya untuk konsumsi berita saja, tapi memang penting untuk semua konsumsi program siaran; tapi kondisi ini menjadi kian runyam – kalau kita melihat pada pihak yang berkompeten mengatur program penyiaran, seperti Lembaga Sensor Film maupun Undang-undang penyiaran, pasalnya hanya menyebutkan sensor untuk tindakan kekerasan , sadisme dan pornografi sedangkan pemakaian kata-kata kasar tidak disinggung. Dan bagi para pelaku media sendiri menganggap bahwa kekerasan verbal tidak masalah dikonsumsi penonton maupun pembaca dari segala golongan umur , dan para artisnya sendiri oke-oke saja melontarkan kata-kata kasar maupun menghina, apalagi kata-kata kasar tersebut dijustifikasi sesuai dengan konteks budaya.

 

 

 

Jadi kalau kita berbicara tentang makin berkembang konflik antar etnis di negara Indonesia, sebetulnya akarnya sudah terjalin mulai dari lingkungan keluarga itu sendiri yang secara tidak sadar tersosialisasi melalui tayangan maupun informasi yang diperoleh dari media massa terutama TV.

Hak pembaca, pendengar maupun penonton untuk memperoleh tayangan, siaran maupun bahan bacaan yang mengajarkan kesantunan, yang menumbuhkan harmoni , yang menanamkan kasih sayang lebih banyak terabaikan – oleh alasan mengejar kuantitas daripada kualitas isi pesan.

 

Akhir kata, siapa yang akan peduli dengan semua ini – kalau bukan kita para intelektual komunikasi untuk bersama-sama merancang konsep yang dapat membantu para pelaku media massa menciptakan tayangan, siaran maupun bacaan yang dapat mencerdaskan maupun meninggikan martabat manusia , sehingga perbedaan pendapat bukan dianggap sebagai perseteruan tapi lebih merupakan wacana mencapai kebersamaan.

 

TABEL KEKERASAN VERBAL DI SEJUMLAH STASIUN TV

 

 

 

 

NO       TANGGAL          STASIUN          A C A R A              KATA-KATA YANG DIKELUARKAN

 

1          3 Juni 2001       Indosiar                   Warkop Millenium      Kau aja Don yg makan sup itu                                                                                                    biar badan lu kaya kingkong

 

 

 

  1. 5 Juni 2001 T P I          Lenong abang none     Diam kebo ,

Badak mau melahirkan

 

 

  1. 11 Juni 2001 RCTI         Junny oh Jinny             Setan Jambul

 

 

  1. 16 Juni 2001 SCTV         Spontan                     ini selendang ya mbak, kalau

rotan gue gampar lo !

 

 

  1. 23 Juni 2001 ANTEVE                 Tabita & Sicupid          Diam Babon !

 

 

Sumber : Jurnal Media Watch Edisi 11 Juni 2001 – hal.7

 

 


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *